Posted by: geotrekk | November 12, 2009

Api Watu Semar

Sabtu, 7 Nopember 2009

Pukul 8.00, suasana tampak sepi. Hampir-hampir tidak ada aktifitas mahasiswa. Gedung jurusan terkunci rapat. Hanya aktifitas “perkuliahan” di cak Tomo, menyediakan kopi hangat untuk memulai petualangan kali ini. Setelah kami berkumpul lengkap, segeralah kami berangkat ke Trawas, kabupaten Mojokerto. Sempat dua kali berhenti di pom bensin.

Pukul 10.30, kami tiba di pos pendakian Tamiajeng Trawas. Sarapan, menitipkan sepeda motor lalu segera berjalan memulai pendakian ke puncak Penanggungan. Di depan gedung Ubaya ada sekumpulan petugas berseragam. Satu satpam Ubaya, dua pegawai Ubaya dan satu polisi berseragam bebas. Anam, nama salah seorang pegawai Ubaya yang juga termasuk masyarakat setempat menghampiri kami. Obrolan itu berbuah kekecewaan, kami dilarang mendaki. Kabarnya seisi gunung terbakar. Memang dari jauh di bawah terlihat bukan gunung yang hijau lagi, semua sudah berubah hitam seperti bekas terbakar.

Pukul 12.00, kami singgah di mushola dekat situ. Teman-teman memenuhi kewajiban agamanya. Seperti mandapatkan sebuah hidayah, kami akhirnya memutuskan untuk pindah ke puncak Watu Semar. Lokasinya tepat dibawah gunung Welirang, di kawasan air terjun Dlundung. Dari jauh tampak lokasi itu berasap, sedangkan Penanggungan tidak. Disini permasalahannya hanya ijin. Sayang kami tidak membawa GPS atau kompas dan peta. Sampai di kawasan lokasi wisata air terjun Dlundung kami beli karcis masuk. Tujuh orang dan empat sepeda motor hanya dua puluh sembilan ribu rupiah saja. Menitipkan sepeda motor lalu langsung mulai mendaki. Bagaikan mesin diesel kami sungguh payah awal mendaki. Setelah berjalan cukup jauh, melewati sungai kecil, asap terlihat di depan menghalangi perjalanan. Suaranya seperti letusan senapan di medan perang. Semula kami

takut, tapi kaki ini semkain melangkah ke depan karena penasaran. Sebisa mungkin kami memadamkan. Pendakian ini sungguh kacau, tapi senyum mereka menylut mental.

Sampai di Semar, tidak seperti yang kulihat sebelumnya. Tampak abu dan asap dimana-mana. Asap ini sangat berbau, seperti bau adaptor terbakar. Kami pergi ke sumber air terdekat, seingatku di kawasan Gatot Kaca ada sungai kecil. Sebuah pohon besar kering terbakar hebat di depan kami. Mustahil untuk memadamkannya. Sungguh panas di dekat situ. Kami hanya bias membuat parit di sekelilingnya. Lalu kami tinggalkan untuk mencuci tangan dan mengisi air. Kembali ke gubuk di Watu Semar, kami persiapkan tempat untuk bermalam, setelah itu kami menikmati pemandangan yang hancur ini. Bendera sudah dibentangkan. Hingga kini pukul 17.00 kami sedang bercengkrama. Ngobrol di puncak Watu Semar, sentil sana dan sini. Tidak ada yang melarang dan sungguh bebas.

Pukul 19.00 akhirnya kami makan malam, setelah menunggu waktu beribadah. Suasana sangat dekat dan hangat walau diluar sangat dingin. Bau menyengat ini sangat mengganggu. Jika terlalu lama, mungkin 3-4 hari disini, kita bias terkena ISPA. Api sudah mulai padam. Tapi suhu semakin dingin.

Pukul 20.00 Syukron, Andika dan Aan sudah tertidur. Tampak raut kelelahan diwajahnya. Eko bermain dengan api. Ulum bercderita kisah Penanggungannya. Disebelah Barat, di atas bukit, warna merah menyala.patahan dahannya seperti suara senapan. Api di Selatan sudah mulai padam. Pukul 20.48 tampak semua mulai lelah. Satu persatu kami mulai tumbang. Api di sebelah Barat dekat gubuk kami mulai membara. Tapi tidak akan mendekati kami.

Minggu, 8 Nopember 2009

Pukul 04.30, pagi yang sangat sesak. Bau menyengat karbon sungguh mengganggu. Kami sempatkan momen cahaya merah dari Timur itu dan mengabadikannya. Pukul 05.30 kami sarapan. Sekedar roti dan susu coklat cukup untuk kebutuhan kalori hari ini.

Paling tidak sampai siang nanti, setibanya kami di desa. Kami bersiap kembali ke peradaban. Asap ini tidak menyenangkan. Kami harus segera turun.

Pukul 06.33 Syukron dan Andika mengambil air di sungai. Hendra, Eko, Ulum dan Aan tidur lagi. Padahal baru saja bangun 2 jam yang lalu, malah tidur lagi. Terdengar kicauan burung dimana-mana. Tuhan sedang mereklamasi tempat ini. Akan segera berganti dengan pohon yang lebih hijau dan kuat. Sebatang pangkal pohon masih terbakar, memberikan kehangatan di pagi ini. Semua tampak lebih hijau bila mata terpejam. Pukul 06.44, mereka yang mengambil air telah kembali. Syukron mengeluh kelelahan. Alih-alih mengambil air, ternyata dia mencari maskernya yang hilang.

07.15, kembali ke peradaban. Perjalanan terasa singkat sekali. Jalur pulang melewati sisi sebelah Timur bukit. Ada sebuah batu besar disana. Batu ini yang dinamakan Watu Semar. Kami sempatkan mengambil gambar disitu. Dibawah kami penuh abu pohon terbakar. Jalan amat begitu berdebu.

Pukul 08.20, kami tiba di wisata air terjun Dlundung. Seperti biasanya akhir pecan, begitu banyak orang disana. Kami beralih ke aliran anakan air terjun kembar. Ternyata sama saja. Kami bersih-bersih seadanya. Hingga kini pukul 09.05 kami diwarung, menikmati kopi hangat. Rasanya udara lebih segar di bawah.

 

Oleh : Brainca Tri Adhitya


Leave a comment

Categories